LALU
Aku memulai cerita ini sedari tahun lalu, karena tiada lagi saat dimana hati ini merasakan bahagia luarbiasa dengan sedih tiadatara yang tiada lain adalah titipan dari Sang Maha Kuasa. Kala itu lepas Bulan Ramadhan saat matahari kemerahan menyertai jarum jam dipelupuk lima. Sudah senja dan akan maghrib, begitulah waktunya. Waktu yang akan selalu aku ingat tiap jengkal rasanya. Rasa yang memulai segala rasa dimasa depanku kelak. Aku ditujuh belas tahun dan duduk di ruangan kelas tiga sekolah menengah atas. Tidak aku sertai dalam cerita ini masa-masa yang aku lewati untuk berjuang di Ujian Nasional, karena terasa berlalu begitu saja. Banyak rasa dikala itu yang pada akhirnya terkalahkan dan terpendam dengan sebuah rasa ini. Rasa yang kembali aku rasakan tiap mengingatnya, tiap mencoba menceritakannya, tiap merasa menemukan kisah yang sama.
Aku bergegas untuk berkemas hanya agar telihat lebih rapi, lebih segar, lebih layak didepannya. Tidak pernah tahu sebelumnya kabar seperti apa yang hendak ia sampaikan kepadaku lewat sajak, pesan singkat, tulisan pendek yang sangat kuharapkan. Dia aku hidupkan. Aku letakkan berhati-hati diatas meja. Mengotak-atik untuk beberapa lama. Sangat lama terasa. Aku sendiri di dalam kamarku. Sang saksi matiku. Ada dua sosok lain diruangan sebelah, menonton TV katanya. Sungguh, tiadalah selain iklan yang berlalu lalang saja yang telinga ini dengar.
Mereka gugup bukan main. Aku dalam hal lain bukan kepayang. Aku menunggu kabar yang entah baik atau berkumungkinan buruk nan merobek hatiku dan orang disekitarku. SBMPTN. Nasibku yang kala itu akan diungkapkan sebentar lagi. Sebentar itu kemudian berlalu. Berlalu menjadi waktunya . Waktunya yang sudah tiba. Waktunya aku untuk tahu.
Aku tersentak. Jantungku memanas. Kurasakan desiran darah mengalir lewat nadi ke wajahku. Kemudian tetesan itu muncul. Sedikit demi sedikit dalam keheningan bibirku yang beku. Aku menahan suara tangisanku karena tak ingin ada hati lain yang sedih melihat kondisiku diwaktu itu. Diwaktu aku tak mampu berkata-berkata akan masa depanku yang penuh jarak, keterpisahan, dan akan rindu yang harus kutahan yang bisa saja menjadi kekuatanku saat sendiri atau menjadi kelemahanku saat rindu itu mencapai titik tidak terkira.
Aku beranjak. Tidak tahan lagi melihat kata-kata yang menciptakan banyak rasa dalam jiwa. Aku bergegas pergi keruangan sebelah. Mata-mata yang sebelumnya tertuju pada iklan itu kemudian sembari bersama melirik ke arahku. Mereka terkejut melihat mata ini. Berpikir bahwa mungkin saja aku tidak lulus dimanapun. Hanya tidak ingin membuat pemikiran yang lebih jauh, aku pun angkat bicara. “ Lulus Ma, pilihan dua “, nafas yang tertahan itu kudengar melega lewat tarikan nafas dikemudiannya. “ Alhamdulillaaaah “ sorak ibu tersayangku dan kakak. Tangisku pun tidak terbendung. Bersuara sekeras yang kubisa, sedari tadi aku menahannya. Tidak terbendung lagi . Keras bibirku saat berkata dan bernada. “ Jauh sekali Ma ” . Aku sujud, lemah sekali tubuh terasa. Banyak syukur dalam kata-kataku, namun tak kalah banyak sendu dan sedihku. Ada luka dihatiku saat itu. Banyak adanya. Namun, banyak kata syukur yang tersebut lewat hati dan bibir mama serta kakak.
Aku hanyalah anak daerah, teman. Orang minang yang tidak mengharapkan jarak. Jarak yang kusadari akan semakin bertambah lewat usia, lewat hati, lewat jiwa dan dimensi lainnya. Bukankah jarak akan menambah sakit yang terasa ? Iya, benar sekali. Namun yang kuat akan tetap selamat, InsyaAllah. Tuhan kita Maha Kuasa. Tidak ada keraguan padanya. Itulah pemupuk hatiku. Anak rantau yang akan bertahan demi ibadah kepada Allah SWT dan demi cintaku pada orangtua yang tidak ingin terbuang sia-sia begitu saja.
Komentar
Posting Komentar